Thursday, February 17, 2022

Larval Development of Nypa Palm Worm Namalycastis rhodochorde (Polychaeta: Nereididae)

 

Namalycastis intensive culture is still facing problems in mass production due to limited information on reproduction especially in fertilization and production of larvae. The present research was designated to find out optimum salinity for fertilisation and production of Nypa palm worm larvae (Namalycastis rhodochorde). Gamete samples were collected using a  capillary  glass tube inserted into ventro-lateral part of body segment of mature worm. Artificial fertilization was done by mixing the sperms and oocytes in a fertilization dish containing sterillized sea water as the medium. The larval development was observed until benthic phase larvae (3-setigers). Fertilization was performed in medium salinity of 7-21‰ and water temperature of 25-29°C. The cleavage and larva stage occurred respectively within 28.20 to 58.67 minutes and within 72 to 80 hours after fertilization. The fertilization and larval development of N. rhodochorde were highly influenced by the medium salinity and temperature.

NUSANTARA BIOSCIENCE (Vol. 12, No. 2, pp. 148-153) November 2020

Wednesday, December 24, 2014

Keanekaragaman dan Pola Penyebaran Genus Cacing Laut Polychaeta di Pantai Timur, Lampung Selatan

The coastal use causes the change of water quality. As a result it affects the change of
its biological composition, such as sea worm from the genus of Polychaete. Sea worm
is very sensitive against the change of water quality and its substrates, so that its’
diversity indices and radiation patterns can be used as an indicator of environmental
quality. The research done in year 2000 was conducted in four coastal village situated
in eastern coastal of South Lampung in which three sampling stations chosen based on
the GPS Garmin II+. The results show that in all stations the diversity indices (of
Shannon-Wiener) of the sea worm are quite high (H’ > 2.5) and most of the radiation
patterns are clustered (Id > 1). (JUNARDI, SRI MURWANI). J. Sains Tek., April 2004, Vol. 10, No. 1: 58-64.

Tuesday, November 25, 2014

Budidaya Cacing Polychaeta, Mungkinkah?

Polychaeta di Indonesia dikenal dengan cacing laut, walaupun tidak semua cacing laut termasuk dalam kelas polychaeta. Peran polychaeta dapat dikategorikan dalam manfaat ekologis dan ekonomis, Tulisan ini hanya akan mengulas manfaat ekonomis polychaeta. Cacing polychaeta merupakan memiliki nilai ekonomi penting untuk pakan alami industri akuakultur. Di negara-negara seperti AS, Inggris, Belanda, Australia, Italia dan China, cacing laut telah menjadi komoditas ekspor antar negera baik dalam bentuk cacing beku maupun cacing hidup.  Cacing laut yang telah dibudidaya umumnya dari famili/keluarga Nereididae (Nereis virens, N. diversicolor), Lumbrinereidae (Lumbrinereis), Glyceridae (Glycera dibranchiata), dan Eunicidae (Diopatra sp.). Di negara-negara tersebut, polychaeta sudah diperhitungkan sebagai sumber devisa negara, lalu bagaimana dengan pemanfaatan polychaeta di Indonesia?

Di Nusantara, dengan potensi laut yang luar biasa tinggi, negeri dengan julukan megabiodiversitas tertinggi kedua setelah Brazil, jumlah spesies polychaeta belum terdokumentasi dengan baik.  Pada aspek pemanfaatan polychaeta, Indonesia hanya mampu mengumpulkan cacing dengan cara menangkap di alam dan belum menjadi perhatian serius apalagi menjadi komoditas ekspor.  Cacing ini hanya dimanfaatkan sebagian kecil oleh para pemancing sebagai umpan dan sebagian kecil lainnya juga sebagai pakan alami di panti-panti pembenihan udang sebagai pakan untuk induk udang.

Mengapa budidaya cacing laut belum ada di Indonesia? Jika ditinjau dari potensi Indonesia memiliki banyak jenis cacing laut yang memiliki nilai ekonomi, baik yang dapat dimakan atau sebagai makanan manusia misalnya cacing Nyale (Eunice viridis), cacing laor (Nereid) atau digunakan sebagai pakan udang dan ikan mislnya jenis-jenis dari famili Nereididae seperti Nereis (Neanthes), Perinereis, Dendronereis, Platynereis, Namanereis dan Namalycastis. Berdasarkan potensi tersebut, dimana titik lemahnya sehingga tidak ada budidayanya? apakah dari segi sarana Prasarana? SDM polychaeta? BERSAMBUNG
 

Tuesday, November 26, 2013

Body Length and Development Stages Relationship of Female Namalycastis rhodochorde


The body length is the one characters of body size which can be used not only as an indicator to determine the stages of development but also the time of maturation and reproduction. The purpose of our study was to estimated the relationship between body length and stages development of female Nypa Palm worm. Randomized samples were taken from October 2011 to July 2012 in Kapuas Estuary, West Kalimantan. Selected individuals who have completed body segment used for measurement. We divide into four stages of development i.e  juvenile, immature, sub-mature and mature based on mean of oocytes diameter (n=30 from each specimens). A regression analysis (Y=axb) was used to determine the relationship between body length and stages of development. Total of 140 specimens were found with individual body length ranged from 19.7 to 158.9cm and oocytes diameter ranged from, 28 to 150mm.  According to this study, body length of female N. rhodochorde was low correlated (37.4%) with developmental stages. (TRI RIMA SETYAWATI, JUNARDI, MUKARLINA). Seminar Nasional Sains dan Teknologi ke-5, Bandar Lampung, 19-20 Nopember 2013.

Saturday, March 3, 2012

Pencarian dan Penelitian Cacing Nipah (Namalycastis rhodochorde) di Kalimantan Barat

Cacing nipah sejak dahulu dikenal di kalangan pemancing di Kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Sebelum tahun 1952, cacing nipah sudah dicari dan dimanfaatkan sebagai umpan memancing di daerah kecamatan Pemangkat, Para pemancing menyebut cacing panjang yang sering ditemukan di sekitar pohon nipah (Nypa fruticans) dengan sebutan Kapang atau Kapang Nipah. Sejak di Sungai Kakap tahun 1988, Aki masih meneruskan mencari Kapang untuk umpan memancing, sehingga bagi masyarakat asal Sambas yang bermukim di Sungai Kakap dan sekitarnya, cacing nipah masih disebut dengan Kapang. Majidi (83 tahun) yang pertama kali mencari Kapang sejak umur 10 tahun di Pemangkat. Saat  itu Majidi sudah mulai ikut mencari Kapang bersama ayahnya. Sejak tahun 1997, pekerjaan Majidi mencari Kapang diteruskan oleh menantunya Jaka sebagai salah satu sumber penghasilan keluarga. Jaka mencari cacing nipah di daerah sungai kakap, selat panjang dan kuala karang yang masih termasuk dalam estuari sungai Kapuas.

Nama Cacing nipah tidak diketahui dengan pasti kapan pertama kali digunakan, menurut Majidi yang bercerita baru-baru ini disela-sela waktu istirahat siang dalam menemani Jaka mencari cacing nipah menyebutkan bahwa, sebutan cacing nipah hanya digunakan oleh masyarakat Pontianak dan sekitarnya yang juga tidak diketahui secara pasti siapa yang menggunakannya pertama kali. Diduga, sebutan cacing nipah di mulai saat para pemancing terkagum dengan banyaknya ikan dan udang yang didapatkan oleh Jaka dengan menggunakan Kapang sebagai umpan. Setelah ditanya dan ditunjukkan yang digunakan sebagai umpan, spontan para pemancing menyebutnya dengan cacing dan juga ditanyakan dimana cacing didapatkan, jawaban dari Jaka dari sekitar pohon nipah. Sampai saat ini sebutan untuk Kapang di Pontinak dan sekitarnya (Mempawah dan Kubu Raya) menggunakan nama cacing nipah.

Pada awalnya Jaka menjual satu ekor cacing nipah Rp. 1000/ekor dengan berbagai ukuran, namun seiring dengan tingginya permintaan harga cacing nipah terus meningkat sampai saat ini cacing ukuran sedang mulai harga Rp. 3000/ekor dan Rp. 20.000/ekor untuk ukuran besar, sedangkan cacing ukuran kecil masih dengan harga Rp. 1000/ekor. Di bidang ilmiah cacing nipah termasuk ke dalam kelas polychaeta (cacing laut), yang dicirikan oleh segmen tubuh dan adanya sepasang kaki pada setiap segmen tubuh kecuali segmen pertama dan terakhir. Suku cacing nipah adalah Nereididae dengan anak suku Namanereidinae.  Anak suku ini, memiliki banyak spesies dengan habitat perairan muara, air tawar dan semi-terrestrial (cenderung ke darat) (Glasby, 1999) tidak seperti cacing laut lainnya yang bersifat oseanis (menyukai perairan laut).

Penulis mulai melakukan penelitian terhadap cacing nipah sejak tahun 2006 yang mendapatkan sampel cacing dari spesimen yang di jual di pasar-pasar tradisional dan pedagang pengumpul kota Pontianak. Deskripsi morfologi cacing nipah yang digunakan mirip dengan cacing laut India (Namalycastis) sehingga digunakan nama ilmiah Namalycastis cf indica. Penelitian pertama tentang cacing nipah dimulai dengan melihat struktur populasi, habitat dan deskripsi morfologi. Penelitian tentang cacing nipah dengan menambah banyak koleksi spesimen, ternyata deskripsi spesimen cenderung mirip dengan cacing air tawar Namalycastis abiuma. Tahun 2007 dengan adanya kolaborasi internasional, penulis mendapatkan nama ilmiah baru untuk cacing nipah yaitu Namalycastis rhodochorde (Glasby, Miura, Nishi, Junardi, 2007). Penelitian selanjutnya mancakup aspek-aspek reproduksi dan perkembangan cacing nipah sampai tahun 2009. Tahun 2011 masih dilanjutkan meneliti reproduksi dengan fokus pada taktik reproduksi. Sejauh ini, ada dua perbedaan morfologi cacing yang ada dan hidup bersama cacing nipah yang didapatkan dari estuari sungai Kapuas Kalimantan Barat. Perbedaan morfologi tersebut belum diamati secara menyeluruh mencakup perkembangan larva dan genetik yang dapat menjadi acuan untuk memastikan apakah dua cacing tersebut termasuk variasi dalam spesies atau berbeda spesies.

Saturday, April 30, 2011

Sekelumit Sejarah Cacing Nipah (Namalycastis sp.)

Nama lokal cacing nipah merujuk pada preferensi habitat cacing ini yang lebih mudah ditemukan pada tumbuhan nipah.  Nama ilmiah cacing nipah, jika merujuk pada nama cacing nipah yang digunakan di Kalimantan Barat, maka sejauh ini ada dua spesies cacing nipah, yaitu Namalycastis rhodocorde, yang dipublikasikan sebagai nama baru (new species) oleh Glasby, Miura, Nishi, Junardi, tahun 2007 dan Namalycastis hawaiiensis Feurborn tahun 1931. Cacing nipah N. rhodochorde memiliki panjang tubuh mencapai 2,5m (spesimen dari Tanjung Api-api Sumatera Selatan) (sumber: harian Sriwijaya Post, 2010), 1.5 m (spesimen dari Sungai Kakap Kalimantan Barat) (hasil penelitian Junardi dkk, 2010 dan lebih dari 3m (spesimen dari Sungai Mekong Vietnam). Pada lokasi-lokasi tempat ditemukan cacing ini lebih menyukai hidup pada tumbuhan nipah (Nypa fruticans) pada lingkungan estuari.


Cacing nipah N rhodochorde juga memiliki nilai ekonomi sebagai umpan memancing ikan dan udang. Pada beberapa daerah di Indonesia cacing ini telah dikenal luas oleh para pemancing, misalnya di Kalimantan Barat, Sumatera Selatan dan Jambi, walaupun untuk pemanfaatan yang lebih luas sebagai produk ekspor misalnya cacing nipah diimpor dari Vietnam ke AS (Glasby, et al, 2007; Miller et al , 2004).  Distribusi cacing ini juga masih belum didokumentasikan, dari beberapa informasi yang didapatkan dari media cetak dan elektronik, mencatat bahwa selain di Indonesia dan Vietnam, juga telah ditemukan di Sabah, Malaysia dan New Zealand, spesiemen yang umumnya terdapat pada toko-toko yang menjual pakan ikan di AS dan Jepang umum berasal dari Vietnam.

Cacing nipah N hawaiiensis secara jelas dapat dibedakan secara morfologi dengan N rhodochorde berdasarkan ukuran tubuh, warna tubuh dan tipe seta (rambut pada parapodia atau kaki).  Cacing nipah hawaii lebih pendek, warna tubuh lebih pucat dan ada seta falciger dan spiniger di bagian posterior tubuh (Glasby et al, 2007). cacing nipah hawaii pertama kali diberi nama oleh Feurborn dengan nama Lycastis ranauensis yang menggunakan spesimen dari danau ranau Sumetera Selatan pada tahun 1931, namun dalam perkembangannya nama tersebut di ganti menjadi Namalycastis hawaiiensis oleh Glasby tahun 1999 dengan menggunakan spesimen dari kepulauan Hawaii.  Sampai saat ini data-data ilmiah tentang spesies cacing nipah ini di Indonesia masih terbatas pada taksonomi (Glasby et al 2007), karaktersitik habitat (Junardi, 2008), aspek-aspek reproduksi (Junardi dan Setyawati, 2008, 2009), serta gametogenesis (Junardi, Setyawati dan Yuwono, 2010) yag merujuk pada cacing nipah rhodochorde, sedangkan cacing nipah hawaiiensis masih terus diteliti.

Saturday, May 8, 2010

Polychaeta Pesisir Kalimantan Barat

Data jumlah spesies polychaeta secara tertulis di Kalimantan Barat belum tersedia. Tulisan ini mencoba menyajikan beberapa spesies polychaeta yang dikoleksi dari penelitian dan survei di perairan pesisir Kalimantan Barat mulai tahun 2004-2007. Spesies polychaeta (Annelida) yang berhasil didapatkan di Kalimantan Barat baru sebanyak 46 spesies. Polychaeta perairan pesisir Kalimantan Barat umumnya tergolong polychaeta pemakan deposit (deposit feeder). By: JUNARDI. Seminar Jurusan Biologi FMIPA Untan